Monday, March 30, 2009

Interflu..

Interflu..

Hatchim... Hatchim....

Wah gawat nech.. kena flu kayaknya gw.... Musti periksa dokter, sebelum makin parah en nular kemana-mana.

So, sekarang gw lagi ngantri berobat nech...

Pasti gara2 minum es kelapa muda jumat kemarin bareng sob widhi.

Entah knapa gw yakin bgt itu penyebabnya, soale pasca minum es kelapa muda, mendadak tenggorokan gw jadi gatel berat, yg kemudian dah bisa ditebak, diikuti oleh meriangnya badan, pahitnya lidah, panasnya mata, migrannya kepala plus bocornya air dari hidung alias meler...

Semua kenikmatan duniawi mendadak hilang
Ga bisa bedain antara rasa indomie ayam bawang dengan rasa spagheti seafood...
Ga bisa mendeteksi bau kentut temen kerja yg suka iseng menebar pesonanya dgn cara yg ga wajar....
Ga bisa menikmati "pemandangan" yg berlalu lalang di koridor rumah sakit...
Ga bisa mikir...
Dan masih banyak kenikmatan-kenikmatan lain yg mendadak hilang akibat terjangan flu.

Baru sakit flu gini aja gw dah kelimpungan, gimana dgn rekan-rekan kita yg sakit lahir bathin di luar sana ya, seperti para korban bencana jebolnya waduk situgintung.

Astagfirullah, Subhanallah, Alhamdulillah, Allahu Akbar !!!

Kembali ke masalah sakit flu gw, penderitaan itu belumlah lengkap kalo ga dibumbui oleh berbagai komentar menarik dari beberapa rekan....

Biasalah, entah knapa akhir-akhir ketidakhadiran seseorang di kantor selalu dikaitkan dengan upaya-upaya orang itu untuk pindah kerja ke tempat yg baru.

Seperti hari ini...

"kmana lu bro... Ketemu dr. Wawan (wawancara-red) dimana ?"

"lagi nunggu suster Iin (interview-red) ya bro ?"

"gimana bro... Resepnya bagus ga ? generik atau top punya ? "

De el el

Emang dech sejak krisis global melanda, banyak perusahaan yg semakin mengetatkan ikat pinggang mereka dgn berbagai macam cara agar dapat bisa bertahan hidup.

salah satu implikasinya ya tentu adanya perbedaan antara harapan dari si pegawai dan kenyataan yang diterimanya, yang memunculkan perbedaan reaksi dari masing2 orang, ada yg positif dan ada yg negatif.

sejauh ini sih, gw liat temen2 gw ok ok aja, en gw salut bahwa ditengah keadaan yg ada, mereka still do the best.

Tapi seperti yg gw baca di note pak Tanadi, ada perbedaan antara berjiwa besar dan optimist.

So gw pikir, temen2 gw semuanya masuk dlm kategori optimist, they are doing their job at the same level of quality en quantity but they still believe that they deserve more

Cuma ya gitu itu, seloroh nakal kerap terlontar..... Ada aja celetukan yg bisa bikin bos kita panas kupingnya kalo mereka mendengarkan... Meskipun mungkin mereka pun memiliki pikiran yg sama.. He he he...

Cara memotivasi diri pun juga jadi ga kalah aneh...

Beberapa hari yg lalu beberapa orang teman gw bertaruh, siapa yg bakal duluan pindah ke perusahaan baru, tentu saja dengan sejumlah persyaratan seperti keluarnya harus baik-baik, ga bermasalah, ga dikeluarkan, ga ninggalin utang kerjaan, posisi en gaji lebih baik, dll.

Bisa ditebak donk, mereka kerja dgn tempo yg sama, kualitas dan kuantitas yg sama bahkan mungkin lebih, tapi secara bersamaan juga asyik cari peluang sana sini...

Berlomba-lomba menghindari status pegawai abadi.. pegawai yang ga pensiun pensiun... ke ke ke ke jadi inget jaman kuliah dulu...ada isitilah mahasiswa abadi, mahasiswa yang ga lulus lulus kuliahnya...

Eh, barusan gw masuk ke ruangan dokter untuk diperiksa... Tu dokter error kayaknya, masa gw sakit flu malah disuruh nungging periksa bokong, emang apa hubungannya antara bokong dgn flu ? Emang beda gitu bentuknya kalo sakit flu ? Ga bener nech...

Sekarang gw lagi nunggu obat nech, lama juga kayaknya,

Kring
Kring

Wah hp gw bunyi, telp dari kantor, hmm jgn2 ada masalah...

"Hallo"
"lagi ngapain bro ?"
"biasalah, lagi di RS nech periksa"
"RS ? sakit apa lu ?"
"flu akut kata dokternya"
"he he he... elo sakit flu atau interflu ?"
"interflu ?"
"iye, interflu alias interview... Hua ha ha"

Sigh... Gw cuman bilang dalam hati gw... "Astaga..."

Multitasking gitu lho

Multitasking gitu lho



“Sambil nyetir mobil, dengerin diskusi interaktif di radio, makan spagheti buatan bini, plus update facebook en kadang telp sana telp sini untuk koordinasi kerjaan. What a multitasking man, I am”



Begitulah update facebook gw beberapa hari yang lalu.


Namun kegiatan di atas masih belum lengkap, karena sebenarnya ada kegiatan tambahan lainnya yaitu mengagumi dan memperhatikan “pemandangan-pemandangan indah nan menggoda” dari mobil samping ke ke ke….


emang sih ditunjang ama keadaan jalanan yg muacet banget (***pembenaran biar nggak disemprot bini xi xi xi xi***)


Multitasking itu bahasa kerennya, kalo bahasa yg biasa kita kenal mungkin sembari or sambil or nyambi


· Minum air sembari nyetir

· Makan pagi sambil baca Koran

· Nonton bioskop dengan pacar, daripada diem nonton doang, tangan dan mulut mulai berkreasi dan bekerja… makan popcorn maksudnya… he he he….

· Dan masih banyak contoh kasus lainnya.


Sebenarnya, aktifitas nyambi atau mengerjakan banyak hal dalam satu waktu bukan hal yang asing lagi bagi kita, dari jaman dulu sudah ada, cuman istilah dan intensitasnya aja yang mungkin berbeda, yang semakin kesini semakin membudaya.


Masih ingat pepatah lama yang berbunyi :


“Sambil menyelam minum air”

“Sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui”

Intinya sih kita melakukan beberapa pekerjaan di satu waktu yang bersamaan.

Kalo Multitasking behaviour dilihat dari kacamata teori produktifitas, maka intinya sih gimana caranya kita memanfaatkan waktu kita seefisien dan efektif mungkin sehingga menghasilkan hasil atau output yang sebesar dan sebanyak mungkin.

Multitasking juga semakin dimungkinkan seiring dengan kemajuan teknologi yang semakin canggih dan murah, tapi tentu saja, sudah pasti ada sisi negatif dan sisi positif dari kemajuan teknologi tersebut, tergantung kita sebagai pengguna teknologi itu… “man behind the gun”

Karena tidak bisa dipungkiri, bahwa kemajuan teknologi juga mendorong semakin ketat dan semakin keras persaingan usaha yang ada, belum lagi diperparah dengan krisis ekonomi global yang saat ini sedang terjadi.

Menilik usaha atau strategi yang dilakukan oleh setiap perusahaan untuk mengantisipasi semakin kerasnya persaingan agar tetap dapat bisa bertahan hidup, antara lain adalah dengan meningkatkan usaha-usaha yang dapat mengurangi biaya, dan apesnya, salah satu komponen biaya yg cukup besar apalagi kalo bukan orang.

Sehingga tuntutan kepada setiap orang pun semakin tinggi untuk dapat lebih fleksibel dan bersedia untuk mengemban lebih banyak tanggung jawab alias kerjaan.

Kalo istilah kerennya musti siap buat expanded role, dimana pekerjaan kita bertambah karena kita harus mengambil alih pekerjaan orang lain yang sudah atau secara sistematis dibuat mengundurkan diri (***ups…***), tapi tentu saja gaji anda tidak ikut naik alias tetap

Jadinya gitu dech, waktu cuman 24 jam sehari, dan 7 hari dalam seminggu, semakin kudu wajib musti harus pinter-pinter bagi waktu buat diri pribadi, keluarga, kerjaan, agama, bangsa dan Negara. (***MERDEKA !!!***)

Nggak mo ngerjain dengan alasan nggak sanggup or ga bisa ngerjain kerjaan lebih dari satu di waktu yang bersamaan dengan alasan apa pun juga.

tenang aja… if you don’t want to do it, than, somebody else will do it.

Musti siap2 dech kalo dah kayak gitu, karena secara sistematis you will be put on the box alias masuk kotak… ke ke ke….

Jadi inget evolusi kebisaan or kesanggupan…

Dulu, ketika persaingan masih longgar, dimana pilihan yang sangat menarik masih buanyak di depan mata, kalo bos nawarin pekerjaan tambahan, maka dengan lantang kita bisa menjawab :

Tidak bisa !!!! alias Cannot !!!

Tapi sejalan dengan seiringnya waktu, dimana kompetisi semakin ketat, manusia semakin buanyak, dan krisis global yang terjadi, membuat pernyataan tersebut pun berevolusi

Can… but….

Can…

Can do more….

Can do more with less…. (maksudnya ? kerjaan nambah tapi potong gaji gitu..)

Hua ha ha ha… that’s life folks…

Keren khan…., tuntutan yang semakin menggila digabung dengan kemajuan teknologi yang semakin canggih, jadi jangan heran kalo ada orang melakukan multitasking dimana aja dan kapan aja sesempat mungkin yang kadang meminggirkan sedikit norma-norma kesopanan ke ke ke ke….

· Buang air besar, daripada bengong mending connect ke internet buat ngecheck and bales email, telp sana sini buat koordinasi kerjaan, chatting, update facebook, dll.

· Buang air kecil, sambil berdiri nungguin air habis, mending connect ke internet buat ngecheck and bales email, telp sana sini buat koordinasi kerjaan, chatting, update facebook, dll.

· Meeting dengan bos, daripada dengerin bos ceramah ga karuan yg nggak jelas, mending connect ke internet, check email, chatting, update facebook, dll.

· De el el

Tapi untungnya, sejauh yg gw tau, tidak dalam semua kondisi kita bisa multitasking dech, kayak kita lagi tidur… nggak mungkin khan kita update facebook sambil tidur…. Ke ke ke….

Cuman yang gawat, keliatannya ga hanya meminggirkan, namun multitasking kayaknya dah mulai menembus batas-batas pemikiran rasional dan norma-norma yang ada dech…

Seperti update facebook temen gw beberapa waktu yang lalu :

“Lagi sholat Jum’at, udah rakaat terakhir, bentar lagi salam”

Tuesday, March 10, 2009

Menjadi Caleg, antara penghasilan dan pengabdian ( ada banyak jalan untuk korupsi bung !!!)

Menjadi Caleg, antara penghasilan dan pengabdian ( ada banyak jalan untuk korupsi bung !!!)


Status FB salah seorang rekan :



Lagi ngelamun jadi caleg, enak ga ya ? masih bisa korupsi ato nggak ya ?



Sebuah statement yang memancing pikiran jail gw… jawabannya sih simple aja… “banyak jalan menuju roma bung !!!!” ke ke ke ke…



Sebelum secara jail membahas mengenai oknum caleg dan niat korupsi mereka, ada baiknya kita samakan persepsi dulu mengenai definisi atau pengertian korupsi supaya bisa satu bahasa dalam ketawa ketiwi kita.



Asumsi yang dipake dalam tulisan ini adalah asumsi adanya oknum-oknum nakal, karena pasti ga semuanya dunk kayak begitu, en, jangan sampe nanti gw dituduh melanggar asas praduga tak bersalah… or menyebar pitnah…. ke ke ke….



Sensitive oi…. nulis2 kayak gini mendekati pemilu… J



Kembali ke masalah definisi korupsi, mengutip penjelasan mengenai hal tersebut di wikipedia ( http://id.wikipedia.org/wiki/Korupsi )



Korupsi ( bahasa Latin : corruptio dari kata kerja corrumpere = busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) menurut Transparency International adalah perilaku pejabat publik, baik politikus|politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.



Gw males ngedebat definisi ini, tapi kok kayaknya aneh bgt ya, definisi korupsi hanya terbatas kepada pejabat publik (politikus) maupun pegawai negeri, nah kalo hal yang sama dilakukan oleh pegawai swasta namanya apa ya ? atau sah-sah aja ?



Biar aja dech dijawab oleh para politikus, ahli hukum, de el el atau kita diskusi-in dilain waktu aja.



Statement temen gw di status updatenya, mungkin bagi sebagian orang dianggap sebagai pikiran nakal bin iseng, tapi kalo menurut gw itu merupakan suatu pemikiran yang jujur bin genit, mencoba menyindir banyak orang yang saat ini menjadi caleg berlomba-lomba untuk bisa menjadi anggota Dewan Yang Terhormat.



Kita tidak pernah tau apa yang ada di benak para caleg tersebut, apakah mereka bener-bener murni ingin berjuang membela kepentingan rakyat ? atau bagaimana ? meskipun slogan-slogan atau jargon-jargon yang mereka hembuskan di spanduk-spanduk mereka mengatakan demikian.



Itupun masih mengundang pertanyaan, kepentingan apa ? rakyat yang mana ? dan masih banyak pertanyaan lanjutan lainnya yang memancing kita untuk mengetahui kualitas dan kesungguhan dari para caleg tersebut.



Cilakanya, jangan-jangan memang ada oknum-oknum caleg yang memiliki niat untuk melakukan korupsi demi sebesar-besarnya kepentingan pribadinya or golongannya.



Luar biasa bukan, masih jadi caleg aja dah ada oknumnya.. apalagi nanti jadi anggota Dewan yang terhormat beneran ya.



Tapi memang itulah keadaannya, ditengah galak-galaknya KPK berusaha memberangus dan memberantas korupsi, yang meskipun masih dianggap “tebang pilih”, masih ada juga oknum-oknum anggota Dewan yang terhormat yang tertangkap tangan dan atau tertangkap basah melakukan korupsi.



Knapa ya ?



Ya kalo dipikir-pikir, mungkin karena menjadi anggota legislatif atau anggota Dewan yang terhormat masih merupakan suatu pilihan pekerjaan untuk mencari nafkah ditengah susahnya mencari kerja.



Apalagi di era krisis global yang saat ini sedang melanda, ditandai dengan banyak perusahaan-perusahaan yang tutup yang berarti banyak pula pengangguran dari mulai yang terdidik hingga tidak terdidik



Mungkin dalam pikiran mereka, menjadi anggota dewan yang terhormat berarti terbuka juga akses ke kekuasaan yang sangat besar, akses ke proyek-proyek besar yang bergengsi, yang menjanjikan keuntungan pribadi yang luar biasa besarnya, yang dapat memperbaiki taraf kehidupan dirinya. Masa dari 1000 proyek satu aja nggak dapet ?



Selain dari langkanya lapangan pekerjaan, maka tingginya dana investasi yang dibutuhkan untuk bisa menggolkan dirinya menjadi anggota Dewan Yang Terhormat juga mendorong orang ketika terpilih untuk melakukan korupsi.



Bayangkan saja, berapa puluh juta duit yang minimal harus dikeluarkan. Dari mulai pembuatan spanduk, acara sosialisasi dan silaturahmi dengan orang-orang yang dianggap berpengaruh atau dituakan, konsolidasi dan pengerahan masa ketika kampanye dan lain sebagainya



Pun ketika sudah terpilih menjadi anggota Dewan yang terhormat, masih ada kewajiban berupa sumbangan wajib partai yang dipotong dari gaji bulanan selama menjabat, dan terkadang ada partai yang memotong hingga 70% dari gaji perbulan.. bayangkan 70% persen….



Itu belum ditambah dengan sumbangan-sumbangan semi wajib dari berbagai instansi dan organisasi masyarakat yang proposalnya bisa masuk minimal satu setiap harinya.



Kalo nggak dikasih, nanti dibilang pelit and bisa menjadi batu sandungan untuk terpilih kembali di periode selanjutnya.



Kalo sang anggota dewan yang terhormat seseorang yang luar biasa kayanya mah mungkin masih ok, tapi kalo enggak ? apa bener rela mau nombok ? kalaupun iya mau nombok sejauh mana ? sebesar apa ?



Makanya gw nggak terlalu heran, meskipun lucu ngedengarnya ketika beberapa waktu yang lalu di suatu daerah ada demo yg menolak pengurangan masa jabatan pejabat publik dari 4 tahun menjadi 3 tahun dengan alasan belum balik modal !!!!!



Astaganaga… mo dibawa kemana pula Negara ini….



Gw jadi inget waktu dosen ilmu sosial kuliah paska gw bilang, ada paradoks teori Huntington yang terjadi di Indonesia, teori Huntington mencoba mengamati partisipasi masyarakat untuk berpolitik praktis di Negara-negara barat.



Menurut teori Huntington, semakin makmur seseorang, maka akan semakin tinggi tingkat partisipasi orang itu berpolitik.



Jadi kalo di luar negeri sana, konon katanya kalo semakin kaya seseorang maka dia semakin ingin ikut berpolitik, karena benar-benar ingin mengabdikan dirinya kemasyarakat dan tidak lagi mencari keuntungan materi, sehingga bisa terlepas dari konflik kepentingan.



Sebagai contoh, adalah walikota New York Michael Bloomberg yang bersedia di gaji 1 dollar pertahun sebagai imbalan atas pengabdian dirinya melayani masyarakat New York. Dia sudah menjadi pengusaha sukses jauh sebelum menjadi walikota New York.



Nah kalo di Indonesia terbalik, semakin tinggi tingkat partisipasi seseorang berpolitik, maka akan semakin makmur dia.



Makanya jangan heran kalo orang pada berlomba-lomba untuk menjadi anggota Dewan Yang Terhormat dengan segala macam cara…. hua ha ha ha….



Ya tentu saja, sekali lagi pasti ada juga dunk caleg yang sudah kaya raya dari sononya sehingga ga perlu takut terjadi konflik kepentingan en ga perlu korupsi, yang murni ingin mengabdikan diri untuk sebesar-besarnya kemakmura dan kesejahteraan rakyat Indonesia.



Cuman pertanyaannya berapa persen sih caleg seperti itu dari total caleg yang ada ? en gimana caranya kita tau caleg yang manakah itu ?



Bingung.. bingung.. bingung… sama dunk.. ke ke ke ke



Kalau kemudian kita menjadikan kekayaan para caleg sebagai tolak ukur kebersihan dan kesungguhan niat dia untuk mengabdikan diri ke masyarakat secara totalitas tanpa embel-embel motif ingin memperkaya diri pribadi, dengan berpatokan kepada teori Huntington tadi, gimana caranya ya buat mengetahui kekayaan para caleg tersebut ?



Kayaknya sih sulit ya, lha wong untuk ngisi laporan kekayaan sebagai syarat wajib menjadi caleg pada males and kalo bisa dihapus saja dari syarat wajib.



Lha wong usulan harus memiliki NPWP bagi para caleg dari dirjen Pajak pun juga menuai kecaman dan sempat menjadi pro dan kontra, pada takut ketauan yak ?



Ah bingung juga…



Teringat kata-kata dosen ilmu sosial gw lagi, hanya ada dua hal yang membuat manusia urung untuk melakukan kejahatan, yaitu rasa takut dan rasa malu. Kalau dua-duanya sudah terlewati, maka sudah pasti sebuah kejahatan akan terjadi.



Takut bisa dibentuk dari besarnya hukuman yang akan diberikan, tapi bukan jaminan akan menghapus keburukan sama sekali.



Layaknya mata uang yang mempunyai dua sisi, dalam kehidupan pun akan selalu ada dua sisi, sisi baik dan sisi buruk, cuman masalahnya mana yg sering nongol. Besar atau kerasnya hukuman cuman akan mengontrol sisi mana yang lebih dominant untuk muncul.



Kayak hukuman mati di tanah Arab, meski ditegakkan dengan keras, masih aja banyak yang melakukan kejahatan serupa, karena memang hukuman keras tidak akan pernah bisa menghapus sebuah kejahatan tapi ya meminimalisasi aja. Apalagi kalo hukumannya ringan banget yak… kebayang khan ?



Malu bisa dibentuk dari hukuman yang akan diterima secara sosial dari masyarakat, seperti dikucilkan dari pergaulan, diejek-ejek seumur hidup, dan lain sebagainya yang lebih memasuki domain perasaan.



Tapi masalahnya khan bangsa Indonesia ini bangsa pelupa, paling juga orang cuman inget satu dua tahun, sisanya mah dah biasa aja, belum lagi sifat individualistis yang semakin mengental, sehingga orang semakin tidak peduli satu sama lainnya, en semakin putus urat malunya.



Kembali ke pernyataan temen gw di status updatenya.



Meski ada KPK, meski pengawasan semakin diperketat, meski hukuman semakin diperberat, kalau ke-malu-anmu sudah hilang…. tetep aja… ada banyak jalan untuk korupsi bung !!!

Friday, March 6, 2009

Facebook/Friendster sebagai salah satu atribut untuk berkomunikasi

Beberapa waktu belakangan ini, situs perkawanan atau jejaring sosial semisal Friendster, facebook dan lain sebagainya menjadi trend komunikasi masa kini.

Kemajuan teknologi informasi yang pada saat ini sudah memasuki era web 2.0 banyak merubah cara orang berkomunikasi satu sama lainnya.

Memang segala sesuatu akan selalu memiliki dua sisi, selayaknya malam bergandengan tangan dengan siang, panas bergandengan tangan dengan dingin, maka begitu juga dengan situs perkawanan atau jejaring sosial, pasti ada sisi buruk dan sisi baiknya, dan semua itu kembali kepada manusianya, bagaimana seseorang menggunakan dan memanfaatkannya, “it’s all about man behind the gun”

Namun, terlepas dari pro-kontra yang terjadi atau kontroversi yang saat ini sedang ramai dibicarakan, maka menarik untuk memperhatikan bahwa melalui situs perkawanan atau jejaring sosial, seseorang dapat dengan mudah mencari informasi dan menemukan teman-teman lama mereka yang mungkin sudah puluhan tahun terpisah, untuk bernostalgia mengenang masa lalu, menyelesaikan urusan lama yang tertunda “unfinished business”, atau bahkan menambah teman dalam rangka memperluas networking.

Kembali lagi “Man behind the gun” memang akhirnya menentukan mau ngapain dan diapain situs perkawanan atau jejaring social, karena memang segala sesuatu tergantung dari niatnya. “innamal a’malu binniyat”

Menjadikan situs perkawanan atau jejaring sosial sebagai salah satu alternative bagi kita untuk tetap menjaga dan menjalin tali silaturahmi dengan teman kita ditengah kesibukan sehari hari yang tidak memungkinkan untuk secara intensive/reguler bertemu muka secara langsung.

Sebenarnya ada banyak cara yang bisa digunakan untuk tetap dapat berkomunikasi dengan teman kita, antara lain dengan mengetahui alamat rumah, no telp rumah, no telp kantor, alamat kantor, no hp, alamat email dan attribute lainnya yang melekat pada teman kita yang bisa menghubungkan kita dengannya.

Namun terkadang, karena sesuatu hal, sering kali kita menemukan bahwa atribut-atribut tersebut sudah tidak valid lagi sehingga kita kehilangan jejak yang pada akhirnya membuat komunikasi kita dengan teman kita menjadi terputus

Untuk lebih jelasnya, maka disampaikan beberapa ilustrasi ringan dan sederhana mengenai mengapa dan bagaimana atribut-atribut tersebut menjadi tidak valid

1. Rumah

Dalam siklus kehidupan manusia, biasanya seseorang akan mengalami pindah rumah minimal satu kali dalam hidupnya, yaitu ketika menikah. Dan ketika itu terjadi, maka alamat surat menyurat, no telp rumah yang biasa dihubungi pun berubah. Kitapun bisa kehilangan jejak dikarenakan kita enggan bertanya ke keluarga terdekatnya karena satu dan lain hal.

2. Kantor

Ketatnya iklim kompetisi yang saat ini terjadi, didukung dengan liberalisasi dan faham kapitalisme yang lebih dominan, mempengaruhi pola manusia dalam bekerja di sebuah perusahaan.

Keinginan untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik lagi dan proses “seleksi alam” yang semakin ketat, yang mempercepat terjadinya evolusi dan revolusi, membuat orang tidak lagi bekerja dengan mind set “life time employment” yang dulu banyak di anut oleh pegawai-pegawai di perusahaan Jepang, dimana orang akan setia bekerja di sebuah perusahaan selama-lamanya hingga pensiun.

Kecendrungan orang untuk pindah kerja mencari sesuatu yang menurutnya lebih baik, membuat kita susah untuk menjaga komunikasi yang selama ini terjalin jika kita menggunakan atribut kantor (email, no telp kantor, alamat kantor, dll) sebagai satu-satunya jalur komunikasi kita dengan teman kita. Alamat korespondensi yang selama ini dipakai tiba-tiba tidak dapat digunakan kembali, dan terputuslah komunikasi antara kita dengan teman kita yang pindah kerja.

3. Telp Selular

Liberalisasi komunikasi yang berujung kepada perang harga antar operator dan belum ketatnya regulasi yang mengatur penggunaan telpon selular, membuat orang dengan mudah mengganti-ganti nomor telpon selularnya untuk alasan apapun.

Dan ketika telpon selular menjadi satu-satunya atribut yang dipakai untuk menghubungkan kita dengan teman kita, maka kita akan kehilangan kontak dengan teman kita, jika dia mengganti nomor telpon selularnya tanpa memberitahukanya kepada kita.

4. Telp Rumah (telp kabel)

Sebagai dampak dari liberalisasi komunikasi, telp rumah pun terkena imbasnya.

Banyak perumahan baru yang saat ini masih belum dapat dipasang telp rumah/telp kabel dikarenakan besarnya investasi yang dibutuhkan untuk membangun infrastruktur telp rumah.

Sebagai solusi dari permasalahan tersebut, maka digunakanlah telp selular di rumah sebagai pengganti telp kabel. Dan kemungkinan kita akan kehilangan kontak dengan teman kita, ketika permasalahan yang disebutkan dipoin 3 di atas (telp selular) terjadi.

Untuk area-area yang infrastruktur telp rumahnya sudah tersedia atau tidak ada masalah, mengganti nomor telpon rumah pun sekarang juga dimungkinkan dengan alasan tertentu terutama keamanan jika alokasi nomor di daerahnya masih ada. Dan kembali lagi, kita akan kehilangan kontak dengan teman kita, jika dia mengganti nomor telpon rumahnya tanpa memberitahukannya kepada kita.

5. Virtual (email, blog, dll)

Akibat perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat, Dunia virtual (internet) pun semakin lama semakin borderless (tanpa batas), semakin liberal dan semakin kapitalis yang membuat Negara tidak bisa campur tangan terlalu jauh untuk mengatur dunia virtual ini.

Setiap orang bisa membuat lebih dari 1 account email, lebih dari 1 blog dan lain sebagainya dengan mudah dalam itungan menit, menjadikan setiap orang bisa dengan sebebas-bebasnya mengekspresikan dirinya di dunia virtual dengan menggunakan namanya sendiri maupun nama samaran untuk tujuan apapun,.

Oleh karena itu, atribut dalam bentuk virtualpun tak luput dari kerawanan, ketika alamat email yang biasa digunakan oleh teman kita untuk berkorespondensi sudah tidak lagi digunakan dengan alasan apapun dan kita tidak diberitahu mengenai alamat email yang baru, maka kita pun sekali lagi akan kehilangan kontak.





Dari berbagai uraian singkat di atas, jelas bahwa atribut-atribut yang dipakai dalam rangka membina, membangun dan menjaga silaturahmi semakin beragam seiring dengan perkembangan teknologi informasi, namun tetap terdapat kemungkinan kita bisa kehilangan kontak dengan teman kita.

Akan menjadi lebih mudah jika terdapat sebuah system informasi kependudukan yang valid/selalu update, terintegrasi, yg diatur dan dikelola oleh pemerintah, yang dapat di akses oleh masyarakat luas untuk bisa mencari informasi tentang keberadaan seseorang. Dan semakin baik, jika system informasi kependudukan tersebut bisa lintas Negara, sehingga kita bisa mengetahui keberadaan teman kita di negara lain.

Kalaupun saat ini ada system informasi kependudukan semacam itu, pasti tidak dibuka untuk umum dengan berbagai pertimbangan seperti hak kebebasan pribadi, alasan keamanan, alasan politis dan lain sebagainya.

Namun, dengan kemajuan teknologi informasi, maka setiap orang, dapat dengan mudah membangun system informasi kependudukan dengan versi yang berbeda-beda.

Situs perkawanan atau jejaring sosial semacam Friendster atau facebook adalah salah satu bentuk evolusi dari konsep sistem informasi kependudukan yang memasukkan dan menggabungkan unsur-unsur kebudayaan manusia sehingga terasa lebih manusiawi dan pribadi.

Kembali ke ilustrasi ringan dan sederhana di atas, bahwasannya orang pindah rumah bisa kapan aja, pindah kerja bisa kapan aja, ganti nomor telp rumah atau hp bisa kapan saja, ganti email bisa kapan aja. Maka, belakangan ini ketika berkenalan dengan seseorang, saya cenderung menanyakan facebook ID-nya ketimbang meminta kartu namanya, karena menurut saya lebih bisa diandalkan untuk sementara ini, sebagai atribut yang menghubungkan saya dengan kenalan baru saya tersebut secara lebih pribadi.

Rgds

Helal