Tuesday, March 10, 2009

Menjadi Caleg, antara penghasilan dan pengabdian ( ada banyak jalan untuk korupsi bung !!!)

Menjadi Caleg, antara penghasilan dan pengabdian ( ada banyak jalan untuk korupsi bung !!!)


Status FB salah seorang rekan :



Lagi ngelamun jadi caleg, enak ga ya ? masih bisa korupsi ato nggak ya ?



Sebuah statement yang memancing pikiran jail gw… jawabannya sih simple aja… “banyak jalan menuju roma bung !!!!” ke ke ke ke…



Sebelum secara jail membahas mengenai oknum caleg dan niat korupsi mereka, ada baiknya kita samakan persepsi dulu mengenai definisi atau pengertian korupsi supaya bisa satu bahasa dalam ketawa ketiwi kita.



Asumsi yang dipake dalam tulisan ini adalah asumsi adanya oknum-oknum nakal, karena pasti ga semuanya dunk kayak begitu, en, jangan sampe nanti gw dituduh melanggar asas praduga tak bersalah… or menyebar pitnah…. ke ke ke….



Sensitive oi…. nulis2 kayak gini mendekati pemilu… J



Kembali ke masalah definisi korupsi, mengutip penjelasan mengenai hal tersebut di wikipedia ( http://id.wikipedia.org/wiki/Korupsi )



Korupsi ( bahasa Latin : corruptio dari kata kerja corrumpere = busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) menurut Transparency International adalah perilaku pejabat publik, baik politikus|politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.



Gw males ngedebat definisi ini, tapi kok kayaknya aneh bgt ya, definisi korupsi hanya terbatas kepada pejabat publik (politikus) maupun pegawai negeri, nah kalo hal yang sama dilakukan oleh pegawai swasta namanya apa ya ? atau sah-sah aja ?



Biar aja dech dijawab oleh para politikus, ahli hukum, de el el atau kita diskusi-in dilain waktu aja.



Statement temen gw di status updatenya, mungkin bagi sebagian orang dianggap sebagai pikiran nakal bin iseng, tapi kalo menurut gw itu merupakan suatu pemikiran yang jujur bin genit, mencoba menyindir banyak orang yang saat ini menjadi caleg berlomba-lomba untuk bisa menjadi anggota Dewan Yang Terhormat.



Kita tidak pernah tau apa yang ada di benak para caleg tersebut, apakah mereka bener-bener murni ingin berjuang membela kepentingan rakyat ? atau bagaimana ? meskipun slogan-slogan atau jargon-jargon yang mereka hembuskan di spanduk-spanduk mereka mengatakan demikian.



Itupun masih mengundang pertanyaan, kepentingan apa ? rakyat yang mana ? dan masih banyak pertanyaan lanjutan lainnya yang memancing kita untuk mengetahui kualitas dan kesungguhan dari para caleg tersebut.



Cilakanya, jangan-jangan memang ada oknum-oknum caleg yang memiliki niat untuk melakukan korupsi demi sebesar-besarnya kepentingan pribadinya or golongannya.



Luar biasa bukan, masih jadi caleg aja dah ada oknumnya.. apalagi nanti jadi anggota Dewan yang terhormat beneran ya.



Tapi memang itulah keadaannya, ditengah galak-galaknya KPK berusaha memberangus dan memberantas korupsi, yang meskipun masih dianggap “tebang pilih”, masih ada juga oknum-oknum anggota Dewan yang terhormat yang tertangkap tangan dan atau tertangkap basah melakukan korupsi.



Knapa ya ?



Ya kalo dipikir-pikir, mungkin karena menjadi anggota legislatif atau anggota Dewan yang terhormat masih merupakan suatu pilihan pekerjaan untuk mencari nafkah ditengah susahnya mencari kerja.



Apalagi di era krisis global yang saat ini sedang melanda, ditandai dengan banyak perusahaan-perusahaan yang tutup yang berarti banyak pula pengangguran dari mulai yang terdidik hingga tidak terdidik



Mungkin dalam pikiran mereka, menjadi anggota dewan yang terhormat berarti terbuka juga akses ke kekuasaan yang sangat besar, akses ke proyek-proyek besar yang bergengsi, yang menjanjikan keuntungan pribadi yang luar biasa besarnya, yang dapat memperbaiki taraf kehidupan dirinya. Masa dari 1000 proyek satu aja nggak dapet ?



Selain dari langkanya lapangan pekerjaan, maka tingginya dana investasi yang dibutuhkan untuk bisa menggolkan dirinya menjadi anggota Dewan Yang Terhormat juga mendorong orang ketika terpilih untuk melakukan korupsi.



Bayangkan saja, berapa puluh juta duit yang minimal harus dikeluarkan. Dari mulai pembuatan spanduk, acara sosialisasi dan silaturahmi dengan orang-orang yang dianggap berpengaruh atau dituakan, konsolidasi dan pengerahan masa ketika kampanye dan lain sebagainya



Pun ketika sudah terpilih menjadi anggota Dewan yang terhormat, masih ada kewajiban berupa sumbangan wajib partai yang dipotong dari gaji bulanan selama menjabat, dan terkadang ada partai yang memotong hingga 70% dari gaji perbulan.. bayangkan 70% persen….



Itu belum ditambah dengan sumbangan-sumbangan semi wajib dari berbagai instansi dan organisasi masyarakat yang proposalnya bisa masuk minimal satu setiap harinya.



Kalo nggak dikasih, nanti dibilang pelit and bisa menjadi batu sandungan untuk terpilih kembali di periode selanjutnya.



Kalo sang anggota dewan yang terhormat seseorang yang luar biasa kayanya mah mungkin masih ok, tapi kalo enggak ? apa bener rela mau nombok ? kalaupun iya mau nombok sejauh mana ? sebesar apa ?



Makanya gw nggak terlalu heran, meskipun lucu ngedengarnya ketika beberapa waktu yang lalu di suatu daerah ada demo yg menolak pengurangan masa jabatan pejabat publik dari 4 tahun menjadi 3 tahun dengan alasan belum balik modal !!!!!



Astaganaga… mo dibawa kemana pula Negara ini….



Gw jadi inget waktu dosen ilmu sosial kuliah paska gw bilang, ada paradoks teori Huntington yang terjadi di Indonesia, teori Huntington mencoba mengamati partisipasi masyarakat untuk berpolitik praktis di Negara-negara barat.



Menurut teori Huntington, semakin makmur seseorang, maka akan semakin tinggi tingkat partisipasi orang itu berpolitik.



Jadi kalo di luar negeri sana, konon katanya kalo semakin kaya seseorang maka dia semakin ingin ikut berpolitik, karena benar-benar ingin mengabdikan dirinya kemasyarakat dan tidak lagi mencari keuntungan materi, sehingga bisa terlepas dari konflik kepentingan.



Sebagai contoh, adalah walikota New York Michael Bloomberg yang bersedia di gaji 1 dollar pertahun sebagai imbalan atas pengabdian dirinya melayani masyarakat New York. Dia sudah menjadi pengusaha sukses jauh sebelum menjadi walikota New York.



Nah kalo di Indonesia terbalik, semakin tinggi tingkat partisipasi seseorang berpolitik, maka akan semakin makmur dia.



Makanya jangan heran kalo orang pada berlomba-lomba untuk menjadi anggota Dewan Yang Terhormat dengan segala macam cara…. hua ha ha ha….



Ya tentu saja, sekali lagi pasti ada juga dunk caleg yang sudah kaya raya dari sononya sehingga ga perlu takut terjadi konflik kepentingan en ga perlu korupsi, yang murni ingin mengabdikan diri untuk sebesar-besarnya kemakmura dan kesejahteraan rakyat Indonesia.



Cuman pertanyaannya berapa persen sih caleg seperti itu dari total caleg yang ada ? en gimana caranya kita tau caleg yang manakah itu ?



Bingung.. bingung.. bingung… sama dunk.. ke ke ke ke



Kalau kemudian kita menjadikan kekayaan para caleg sebagai tolak ukur kebersihan dan kesungguhan niat dia untuk mengabdikan diri ke masyarakat secara totalitas tanpa embel-embel motif ingin memperkaya diri pribadi, dengan berpatokan kepada teori Huntington tadi, gimana caranya ya buat mengetahui kekayaan para caleg tersebut ?



Kayaknya sih sulit ya, lha wong untuk ngisi laporan kekayaan sebagai syarat wajib menjadi caleg pada males and kalo bisa dihapus saja dari syarat wajib.



Lha wong usulan harus memiliki NPWP bagi para caleg dari dirjen Pajak pun juga menuai kecaman dan sempat menjadi pro dan kontra, pada takut ketauan yak ?



Ah bingung juga…



Teringat kata-kata dosen ilmu sosial gw lagi, hanya ada dua hal yang membuat manusia urung untuk melakukan kejahatan, yaitu rasa takut dan rasa malu. Kalau dua-duanya sudah terlewati, maka sudah pasti sebuah kejahatan akan terjadi.



Takut bisa dibentuk dari besarnya hukuman yang akan diberikan, tapi bukan jaminan akan menghapus keburukan sama sekali.



Layaknya mata uang yang mempunyai dua sisi, dalam kehidupan pun akan selalu ada dua sisi, sisi baik dan sisi buruk, cuman masalahnya mana yg sering nongol. Besar atau kerasnya hukuman cuman akan mengontrol sisi mana yang lebih dominant untuk muncul.



Kayak hukuman mati di tanah Arab, meski ditegakkan dengan keras, masih aja banyak yang melakukan kejahatan serupa, karena memang hukuman keras tidak akan pernah bisa menghapus sebuah kejahatan tapi ya meminimalisasi aja. Apalagi kalo hukumannya ringan banget yak… kebayang khan ?



Malu bisa dibentuk dari hukuman yang akan diterima secara sosial dari masyarakat, seperti dikucilkan dari pergaulan, diejek-ejek seumur hidup, dan lain sebagainya yang lebih memasuki domain perasaan.



Tapi masalahnya khan bangsa Indonesia ini bangsa pelupa, paling juga orang cuman inget satu dua tahun, sisanya mah dah biasa aja, belum lagi sifat individualistis yang semakin mengental, sehingga orang semakin tidak peduli satu sama lainnya, en semakin putus urat malunya.



Kembali ke pernyataan temen gw di status updatenya.



Meski ada KPK, meski pengawasan semakin diperketat, meski hukuman semakin diperberat, kalau ke-malu-anmu sudah hilang…. tetep aja… ada banyak jalan untuk korupsi bung !!!

No comments: